“Mengapa Kompleks Makam Asta Tinggi Sumenep terletak di Bukit Kebunagung?”
“Mengapa
Kompleks Makam Asta Tinggi Sumenep
terletak
di Bukit Kebunagung?”
SEBUAH
ANALISIS TENTANG LATAR BELAKANG
TATA
LETAK MAKAM ISLAM DI NUSANTARA
Kubur atau makam kadang dianggap sebagai bangunan yang
sakral dan mendapat pengakuan keramat. Oleh karenanya tidak jarang apabila di
makam seorang ulama besar, tokoh masyarakat atau raja masih banyak dijumpai
peziarah yang khusus untuk berdoa (zikir) dan i’tikaf. Di atas jirat makam sering pula didirikan sebuah rumah yang disebut dengan
“cungkup” atau “kubah”. Bangunan ini didirikan karena terdapat anggapan bahwa
makam merupakan tempat kediaman abadi (Soekmono, 1981b: 83). Hal itu dapat
terjadi karena adanya hal-hal teknis, yang berakar pada tradisi pra-Islam dan
ikut mempengaruhi kebudayaan Nusantara pada masa Islam di Jawa, khususnya yang
menghormati leluhurnya.
Biasanya makam seorang raja dan wali di Nusantara
lokasinya berada di dekat masjid. Di tempat ini, keadaan suci selalu dipenuhi
sepanjang waktu. Arsitektur masjid dan cungkup makam yang berada dalam satu
komplek ini dapat digunakan untuk memahami pemikiran yang melatarbelakangi
lokasi maupun letak bangunannnya (Mustopo, 2001: 183). Kematian dipandang
sebagai bagian dari perjalanan menuju yang suci. Oleh karenanya masjidlah yang
paling sesuai untuk itu, dan sudah tentu masjid yang paling sering dimanfaatkan
adalah masjid raya atau masjid agung setempat. Biasanya cungkup atau makam para
wali terletak di halaman belakang masjid, keletakan itu menyerupai penempatan
bangunan utama pada kompleks percandian.
Pola kedua adalah pemakaman yang berlokasi di gunung atau
bukit. Lingkungan sekitarnya sejuk dan teduh. Seperti pada makam Sunan Gunung
Jati, Sunan Giri, makam sultan-sultan Yogyakarta dan Solo di Imogiri, kompleks
makam Asta Tinggi Sumenep, makam Sunan Sendang di Sendangduwur, dan sebagainya.
Pemilihan lokasi ini merupakan kelanjutan dari tradisi yang berasal dari masa
pra-Islam. Di samping itu alasan pemilihan lokasi bangunan di gunung atau bukit
ini tampaknya juga atas pertimbangan kesakralan tanahnya (Mustopo, 2001: 185).
Pada tanah yang datar, biasanya susunan areal bangunan
makam diletakkan dalam tiga halaman, yang semakin ke belakang tanah semakin
tinggi semakin tinggi permukaan tanahnya. Hal tersebut sebagai upaya
transformasi horizontal yang melambangkan kaki, lereng, dan puncak gunung.
Pola-pola penempatan makam tersebut biasanya diperuntukkan bagi tokoh yang
paling dihormati. Bila tidak di bagian pusat (centre) kompleks pemakaman biasanya berada pada bagian belakang
atau paling tinggi.
Semua pola-pola penempatan tersebut sebenarnya telah
dikenal pada masa sebelumnya, sebagaimana tampak pada bangunan suci masa
pra-Islam. Seperti punden berundak masa megalitik, bangunan percandian
Hindu-Buddha di Gunung Penanggungan, candi Sukuh, dan sebagainya. Pada masa
Islam perkembangan pola-pola dan konsep tersebut akhirnya mengakar dalam
kebudayaan masyarakat di Nusantara, dan Jawa khususnya. Ada keyakinan bahwa makam
merupakan tempat kediaman atau pasarean
bagi si mati. Oleh karenanya, terbentuk arsitektur bangunan makam di Nusantara,
dan Jawa khusunya, serupa dengan pola-pola yang telah dijelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di
Indonesia (Jajat Burhanuddin, Ed.). Jakarta: Puslit Arkenas.
Bustami, Abdul Latif. 1990. Santri Sebagai
Penguasa: Dinasti Bendara Saud di Kasultanan Sumenep Abad XVIII. Pesantren. VII (1): 66-77.
Chawari, Muhammad. 1997. Kaitan Tulisan Pada
Makam Dengan Penguasa Lokal Studi Kasus di Pulau Madura. Jurnal Penelitian
Arkeologi. VI: 53-57.
Mustopo, Moehammad Habib.
2001. KEBUDAYAAN ISLAM DI JAWA TIMUR Kajian Beberapa Unsur Budaya Masa
Peralihan. Yogyakarta: Jendela Grafika.
Sari, Anwar., dkk. 1991. Ragam Hias
Kepurbakalaan Islam Pada Kompleks Makam Asta Tenggi Sumenep Madura: Suatu
Kajian Arkeologis. Malang: Pusat Penelitian IKIP Malang.
_________. 1981b. Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Penulis Sejarah Sumenep. 2003. Sejarah
Sumenep. Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep.
________________. 2009. Arkeologi Islam
Nusantara. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
terimakasih, ini sangat membantu ^^
BalasHapus